TANJUNGPINANG (Kepri.co.id) – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, menyetujui dua permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative justice (RJ), Selasa (30/1/2024).
Dua permohonan RJ tersebut, diajukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepri atas kasus yang ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjungpinang dan Kejari Lingga.
RJ perkara pidana dari Kejari Tanjungpinang, yaitu perkara tindak pidana orang dan harta benda (Oharda), atas nama tersangka Muhammad Sandi Irwansyah Bin Sudi dalam perkara penggelapan dalam jabatan jo perbuatan melanggar pasal 374 jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Sementara dari pihak Kejari Lingga, RJ terhadap perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atas nama tersangka M Ali alias Ismail (almarhum), dalam KDRT melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, atau pasal 351 ayat (1) KUHPidana.
Upaya RJ dua perkara ini dikabulkan JAM Pidum Kejagung RI, setalah ada ekspos yang dipimpin Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kepri, Dr Rudi Margono, didampingi Wakajati Kepri Rini Hartatie SH MH, dan Aspidum Bayu Pramesti SH MH, Kasi Oharda, Kasi Teroris dan Lintas Negara Kejati Kepri.
Hadir juga dalam ekspos ini, Kajari Tanjungpinang Lanna Hany Wanike Pasaribu SH MH, Kasi Pidum Kejari Tanjungpinang Novriansyah SH MH, Kajari Lingga Rizal Edison SH, dan Kasi Pidum Kejari Lingga.
Pelaksanaan ekspos terhadap perkara pidana tersebut, disaksikan jajaran JAM Pidum Kejagung RI, yang diwakili Direktur Tindak Pidana Orang dan Harta Benda (Oharda) pada JAM-Pidum Kejagung, Nanang Ibrahim Soleh SH MH secara virtual.
Permohonan pengajuan terhadap dua RJ dengan alasan dan pertimbangan, menurut hukum telah memenuhi semua persyaratan yakni:
Telah dilaksanakan proses perdamaian, di mana tersangka telah meminta maaf. Korban juga sudah memberikan permohonan maaf. Kemudian, kedua tersangka belum pernah dihukum.
Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, serta ancaman pidana denda ataupun pidana penjara tidak lebih dari lima tahun.
Kemudian, adanya kesepakatan perdamaian dilaksanakan tanpa syarat di mana kedua belah pihak sudah saling memaafkan. Tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya, korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan kepersidangan.
Atas pertimbangan sosiologis, masyarakat merespons positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan segera Kejari Tanjungpinang dan Kejari Lingga, segera memproses penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restorative justice (RJ) sebagai perwujudan kepastian hukum, serta kemanfaatan hukum.
“Hal ini, sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020, tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” ujar Direktur Tindak Pidana Orang dan Harta Benda (Oharda) JAM Pidum Kejagung RI, Nanang Ibrahim Soleh, melalui sarana virtual.
Pihak Kejati Kepri, kata Nanang, melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif, yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban, maupun pelaku tindak pidana yang tak berorientasi pada pembalasan.
“Ini merupakan suatu kebutuhan hukum dalam masyarakat, sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan, beserta pembaharuan sistem peradilan dengan memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana, serta biaya ringan, dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat,” terang Nanang.
Melalui kebijakan RJ ini, ujar Nanang, diharapkan tidak ada lagi warga dan masyarakat bawah yang terciderai rasa ketidakadilan. Meskipun demikian, tukas Nanang, perlu digarisbawahi, keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana, untuk mengulangi perbuatan pidana. (now)