Panggung Maestro VII: Menjaga Maestro, Melangkah ke Depan Menghargai Maestro Seni Tradisional Indonesia

Panggung Maestro VII: Menjaga Maestro, Melangkah ke Depan Menghargai Maestro Seni Tradisional Indonesia
Sumandiyo Hadi, 75 tahun (tengah), - Maestro Tari Beksan Bugis (Yogyakarta). (Sumber: purnati indonesia)

Panggung Maestro VII adalah pergelaran seni pertunjukan tradisi Nusantara yang dipersembahkan Yayasan Bali Purnati bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, Indonesian Heritage Agency, Museum Nasional Indonesia, dan didukung Yayasan Taut Seni dan Bumi Purnati Indonesia.

PANGGUNG Maestro menjadi panggung penghargaan bagi para maestro yang telah mendedikasikan hidup mereka, menjaga dan merawat seni tradisi sehingga budaya bangsa kita tetap lestari hingga kini.

Sepanjang karier yang umumnya lebih dari setengah abad para maestro itu telah mendarmabaktikan kecakapan mereka menggubah karya seni tradisi, melakoninya dengan penuh kesetiaan, sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Penampilan para maestro kali ini, kami harapkan bisa meningkatkan apresiasi, menumbuhkan kepedulian, dan memantik daya kreatif dalam upaya pemeliharaan dan pengembangan seni dan budaya di Indonesia.

Kekayaan dan keragaman kesenian tradisi Indonesia bukanlah warisan benda mati, melainkan aset hidup yang sangat berharga, yang dapat memperkuat kearifan sosial, ketahanan martabat, dan pertumbuhan sosial-ekonomi seniman dan masyarakat pendukungnya.

Lebih dari itu, kesenian tradisi dengan segala kekayaan dan keragamannya sudah semestinya bisa menjadi sumber penciptaan bagi seniman modern yang hendak memperluas, memperdalam atau memperbaharui karya mereka. Bahkan, jika perlu, ia bisa berdiri sejajar dan menjadi lawan dialog seni modern dalam menciptakan kesenian yang lebih bermutu.

Panggung Maestro pertama diselenggarakan pada Juli 2023 dan yang ketujuh pada 10-11 Desember 2024 di Museum Nasional Indonesia. Panggung Maestro kali ini
menghadirkan maestro seni tradisi dari Yogyakarta, Betawi, Kepulauan Riau.

YOGYAKARTA
Y Sumandiyo Hadi, Beksan Bugis
Theresia Suharti, Golek Lambangsari

BETAWI
Hj Fatimah, Gambang Keromong
Kartini Kisam, Topeng Tunggal

KEPULAUAN RIAU (KEPRI)
Mak Normah, Mak Yong

PANGGUNG MAESTRO VII
Selasa-Rabu, 10-11 Desember 2024
⏰ 20:00 WIB
Museum Nasional Indonesia
Jalan Medan Merdeka Barat 12, Jakarta
INFO TIKET
Kelas 1 (duduk) Rp250.000
Kelas 2 (berdiri) Rp150.000
Narahubung Pembelian Tiket:
Puteri +62 877-8321-4733
Desiree +62 816-1903-002
bit.ly/panggungmaestro2024
LOKAKARYA
Selasa, 10 Desember 2024
⏱ 13:00-14:30 & 15:00-16:00 WIB
Rabu, 11 Desember 2024
⏱ 13:00-14:00 WIB
Museum Nasional Indonesia

Jika Panggung Maestro berfokus kepada penampilan para empu seni tradisi di atas panggung, Lokakarya adalah forum yang mempertemukan maestro dengan pengunjung dalam perbincangan dan perkenalan seni yang mereka geluti selama ini.

Lokakarya ini adalah kesempatan berharga bagi pengunjung, terlebih-lebih anak-anak, untuk berkenalan dengan para maestro, berbincang-bincang dan seraya memainkan alat musik tertentu, menyanyikan lagu-lagu pengiring, dan belajar gerak tari yang telah menjadi warisan budaya yang penting di masing-masing daerah.

Lokakarya akan terbagi kepada tiga:

1. Tehyan dan Suara Klasik.

Lokakarya ini memberi kesempatan pengunjung belajar bernyanyi dan memainkan tehyan, salah satu instrumen musik Gambang Keromong.

2. Rebab dan Menghadap
Rebab. Lokakarya ini akan memperkenalkan peserta dan belajar secara singkat memainkan rebab dan menyanyikan lagu ”Menghadap Rebab” yang menjadi pengiring pentas Mak Yong.

3. Lebih Dekat kepada Beksan Bugis dan Golek Lambangsari.
Peserta akan belajar secara ringan dan interaktif beberapa gerak dasar dalam tari Beksan Bugis dan Golek Lambangsari asal Kesultanan Yogyakarta itu.

Informasi kegiatan dan narahubung:
Lokakarya (GRATIS dengan pendaftaran)
Selasa, 10 Desember 2024
13:00-14:30 & 15:00-16:00 WIB
Rabu, 11 Desember 2024
13:00-14:00 WIB
Pendaftaran via: bit.ly/panggungwacanaPM5
Narahubung:
Sarah Nurmala +62 896 2129 5926

Panggung Maestro 2023 dan 2024 terselenggara atas dukungan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid; Direktur Perfilman, Musik, dan Media Ahmad Mahendra dan Sulistyo Tirtokusumo; Endo Suanda, dan Restu Imansari Kusumaningrum sebagai Penggagas Panggung Maestro, serta manajemen Bumi Purnati Indonesia dan Yayasan Bali Purnati.

Panggung ini menyajikan hasil imersif dan pengalaman tulen seni pertunjukan tradisional Indonesia.

KOMENTAR TENTANG PANGGUNG MAESTRO
Apa yang dapat kita banggakan dan apa yang dapat kita lanjutkan? Apa yang tersisa dari ini semua?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menguji kerja kami dalam menjaga maestro seni tradisi kita. Ini adalah sebuah pekerjaan besar Yayasan Bali Purnati bekerja sama dengan Yayasan Taut Seni dan Bumi Purnati Indonesia.

Panggung Maestro VII akan segera dimulai. Konon, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai warisan budayanya. Pekerjaan besar ini adalah mandat dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—kini Kementerian Kebudayaan—juga permohonan kawan-kawan seniman Indonesia, agar mendapat dukungan dalam menegakkan daya cipta dan mengembangkan kebudayaan Indonesia untuk jangka panjang.

Restu Imansari Kusumaningrum, Dewan Artistik Panggung Maestro
Panggung Maestro adalah sebuah pernyataan (bukan pengukuhan) penghormatan kepada para seniman yang telah mengalirkan energi seni-budaya, yang didapat dari para pendahulu mereka kepada kita generasi berikutnya.

Energi adalah daya hidup, semacam sukma, yang tidak akan mati. Tapi sukma hanya ada jika raga terjaga. Kami berniat, berjanji, menjadi pewaris aktif dengan memelihara dan memupuk energi itu, hingga akan lahir buah dan biji yang mendorong pertumbuhan budaya seterusnya.

Endo Suanda, Dewan Artistik Panggung Maestro
Satu hal yang sangat membahagiakan sekaligus mengharukan, manakala di dalam Panggung Maestro kali ini, kita mendapat kesempatan bertemu dengan para penari dan penggubah tari yang berusia di atas 70 tahun, bahkan ada yang di atas 90 tahun, tetapi mereka masih tetap berkarya.

Lama rentang waktu yang mereka jalani dalam berkarya bukan main-main. Konsep wiraga, wirama, serta wirasa sudah jauh mereka lampaui, dan yang mampu ada dan selalu ada adalah “kasunyatan”, yang senantiasa bersemayam di dalam tubuh mereka. Itulah sejatinya sang Maestro.

Sulistyo Tirtokusumo, Dewan Artistik Panggung Maestro
Fakta dan Angka Panggung Maestro Sebelumnya:
– Total Maestro yang Ditampilkan: 40 orang
– Total Pendukung Pertunjukan: 392 orang
– Total Penonton: 3.640 orang
– Total Cakupan Penelitian: Sekitar 51,325 km
– Total Tampilan Digital: Lebih dari 25.000.000 tampilan

Potensi Nilai Berita:
Mengenal Langsung Para Maestro sebagai penjaga dan pewaris budaya Indonesia yang kaya. Mengenal lebih dekat mereka dan karya-karya mereka akan membuka wawasan kita tentang keberagaman seni tradisional di Indonesia.

Signifikansi Budaya: Penghargaan ini mencerminkan pentingnya pelestarian seni tradisional Indonesia yang adalah bagian integral dari identitas bangsa.

Fundamental Sosio-Ekonomi: Melalui penghargaan pada para Maestro, kita memperkuat landasan ekonomi dan sosial budaya Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Inspirasi Generasi Muda: Penghormatan ini dapat menjadi penggerak bagi generasi muda untuk menghargai dan melestarikan warisan budaya Indonesia serta inspirasi kreatif dalam berkarya.

Kolaborasi Lintas Sektor: Panggung Maestro menggalang dukungan lintas sektor untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisional, menciptakan kesempatan kerja kolaboratif yang lebih luas.

Relevansi Global: Upaya pelestarian seni tradisional Indonesia memiliki relevansi global dalam memelihara keragaman warisan budaya.

PENYELENGGARA YAYASAN BALI PURNATI didirikan tahun 1999 sebagai yayasan budaya nirlaba internasional, didedikasikan untuk pelestarian, promosi, presentasi, dan penciptaan arah baru dalam seni pertunjukan, seni visual, dan seni desain.

Kegiatannya meliputi dokumentasi teks, gambar dan film, baik karya seni tradisional maupun karya baru.

Pusat kesenian yang indah dan tenang ini, terletak sangat strategis di Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali.

Batuan terkenal dengan musik klasik dan kontemporer, tarian, lukisan, ukiran kayu dan patung batu.

Di dalam lahan sadar lingkungan dan fasilitas permanen seluas satu hektare di Yayasan Bali Purnati terdapat amfiteater seni pertunjukan, paviliun pameran, dan fasilitas untuk tempat tinggal seniman.

Kata Purnati kami ambil dari bahasa Bali yang berarti ”keseluruhan” atau ”hati murni.”

DIDUKUNG OLEH Bumi Purnati Indonesia, Yayasan Taut Seni, Dinas Kebudayaan
Kota Administrasi Jakarta Timur, Propan Raya, Kebun Seni Jampang Purnati.
UNTUK INFORMASI LEBIH LANJUT PANGGUNG MAESTRO VII, SILA
HUBUNGI:
Wiwit Roswita +62 818-0203-0802
Cianti Menajang +62 816-1903-002
Instagram: @panggung.maestro | @balipurnati | @taut_seni | @purnatiindonesia
Email: info.panggungmaestro@gmail.com
Website: www.balipurnati.com | www.tautseni.com | www.bumipurnati.com

YOGYAKARTA
Beksan Bugis
Beksan Bugis gaya Yogyakarta adalah tarian hasil gubahan Patih Danureja V (1879–1899) yang dibantu oleh Raden Riyo Kertaatmadja.

Selanjutnya Patih Danureja V menyerahkan Beksan Bugis ciptaannya kepada Sinuhun Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Semenjak itu, Beksan Bugis resmi menjadi salah satu tari (beksan) milik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ide penciptaannya berasal dari gerak-gerik dan ketangkasan olah keprajuritan para prajurit Bugis, yang ditempatkan di Kepatihan Yogyakarta.

Prajurit Bugis tersebut adalah satu kesatuan prajurit Keraton Yogyakarta yang anggotanya berasal dari suku Bugis di Sulawesi Selatan.

Bahkan, pada awalnya para penari Beksan Bugis ini berasal dari anggota kesatuan prajurit Bugis yang ada di Kepatihan.

Ciri khas tarian Beksan Bugis adalah memanfaatkan joged baku Bapang Entrog, dan motif-motif gerak yang khusus, antara lain gerak pepincangan, tabikan, dan dhadhap dronjong.

Sedangkan pakaiannya menggunakan penutup kepala berupa udheng gilig, baju rompi, dan kain rampekan.

Dalam pentas kali ini, selain oleh maestro Y Sumandiyo Hadi, Tari Beksan Bugis juga akan ditarikan oleh empat penari pendamping: Sri Wigihardo HP, Triyonggo Handito, Tunggul Pujangkoro, dan Sri Rangga.

Y Sumandiyo Hadi (75 Tahun), Maestro Beksan Bugis

Panggung Maestro VII: Menjaga Maestro, Melangkah ke Depan Menghargai Maestro Seni Tradisional Indonesia
Prof Dr Y Sumandiyo Hadi. (Sumber: purnati indonesia)

Prof Dr Y Sumandiyo Hadi dilahirkan di Yogyakarta, 17 Juli 1949. Ayahnya adalah seorang penari Keraton Yogyakarta. Pada usia delapan tahun ia mulai ikut menari di nDalem Tejokusuman.

Y Sumandiyo Hadi baru belajar menari secara serius di bawah asuhan Pangeran Tejokusumo (putra Hamengkubuwono VII) yang mendirikan Krida Beksa Wirama.

Ia juga belajar menari secara akademis di Konservatori Tari (KONRI) tahun 1966, berlanjut ke Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta—sekarang Institut Seni
Indonesia Yogyakarta. Ia mengajar di kampusnya itu hingga purnatugas tahun 2019.

Selain itu, Y Sumandiyo Hadi juga menjadi dosen tamu di sejumah kampus seni dan umum. Antara lain di Denpasar, Padangpanjang, Surakarta, dan Medan.

Sebagai penari Keraton Yogyakarta, Y Sumandiyo Hadi biasa menarikan tokoh Hanoman, Batara Narada, Klana Topeng, dan Lawung Jajar.

Sepanjang kariernya sebagai penari dan penggubah tari, Y Sumandiyo Hadi telah mengikuti berbagai misi kesenian ke mancanegara.

Mulai dari sebagai dosen tamu di University of Michigan dan University of Wisconsin, Amerika Serikat (1980-1981); pentas Indian Ocean Festival di Perth, Australia, (1984); penata panggung, penata artistik dan penari dalam pentas-pentas Kesenian Indonesia di Amerika Serikat (KIAS, 1990); pentas kerja sama Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Osaka University, Jepang (2010); hingga pentas di Srinakarinwirot, Thailand (2019), dan banyak lagi yang lainnya.

Gubahan tari Y Sumandiyo Hadi, dalam sepuluh tahun terakhir, antara lain, Mataya Singkir Sengkolo (2021), Wayang Wong Cantrik Janaloka (2019), Beksan
Menak Kelasworo Palakrama (2018), Wayang Topeng Lurugan (2016), dan Wayang Wong Cerita Hanoman Obong (2016).

Selain menggubah tari dan mengajar di sejumlah kampus, Y Sumandiyo Hadi juga melakukan penelitian seni dan menulis sejumlah buku.

Antara lain, Mengapa Menari (2024), Teks Dalam Konteks; Sebuah Kajian Tari (2022), dan Tari Kontemporer: Sebuah Fenomena Keakuan-Kekinian-Kedisinian (2020).

Tahun 2015 Y Sumandiyo Hadi mendapatkan gelar KRT Widyamandiyodipuro dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Golek Lambangsari
Di antara sekian banyak bentuk tari golek gaya Yogyakarta, Golek Lambangsari satu-satunya tari golek yang diciptakan di dalam Keraton Yogyakarta, selebihnya adalah gubahan di luar keraton.

Tari Golek Lambangsari diciptakan KRT Purbaningrat tahun 1916 atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono VII.

Setahun kemudian, Golek Lambangsari disumbangkan ke Pura Mangkunegaran dalam rangka peringatan tumbuk sekawan (ulang tahun ke-32) KGPAA Mangkunegoro VII, dan sebagai penari Golek Lambangsari adalah RM Mardjan (KRT Brangtadiningrat).

Sebagaimana tari golek yang lain, Golek Lambangsari menggambarkan seorang gadis remaja yang sedang berhias dan mematut diri.

Dalam pentas Panggung Maestro kali ini, tari Golek Lambangsari akan dibawakan sang maestro Theresia Suharti dan didampingi enam penari pendamping, yaitu Angela Retno Nooryastuti, R Aj Sabina Siti Nurul Pristisari, Putri Isnaeni Kurniawati, Wiwiek Diani Wijayanti, Heni Pujiastuti, dan Asteria Retno Swastiastuti.

Theresia Suharti (78 Tahun), Maestro Golek Lambangsari

Theresia Suharti. (Sumber: purnati indonesia)

Theresia Suharti dilahirkan di Yogyakarta, 8 Februari 1947. Ia menamatkan pendidikan tarinya di Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta tahun 1980, berlanjut ke pascasarjana dengan kajian Sejarah Seni di Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan lulus tahun 1990.

Theresia meraih gelar Doktor pada Bidang Ilmu Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 2012.

Theresia berpengalaman mengajar tari di Konservatori Tari Yogyakarta, di Wesleyan University, di Jurusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, hingga menjadi pengajar tari putri di Keraton Yogyakarta.

Sebagai dosen, ia juga menggubah sejumlah tulisan ilmiah dan buku. Di antaranya, Ensiklopedi Kraton Ngayogyakarta (2010) dan Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage (2002).

Sementara selaku penata tari, ia menggubah sejumlah karya, misalnya Bedhaya Sapta (2012) dan Bedhaya Dhaniswara (1996).

Salah satu tari gubahannya yang pertama adalah drama tari Damayanti yang diajukan sebagai karya akhir di ASTI Yogyakarta tahun 1978.

Jika tidak menggubah, ia menarikan sejumlah tarian. Di antaranya, sebagai penari Bedhaya Sang Amurwabhumi (2008), Bedhaya Babar Layar (2007), dan Golek Lambangsari (2003, 2006).

Theresia Suharti berpengalaman dalam mengikuti dan mendampingi misi kesenian ke berbagai negara, di antaranya, Jerman, Yugoslavia, Finlandia, dan Amerika Serikat.

Di Keraton Yogyakarta sekarang ini, ia juga ikut mendorong regenerasi pelbagai bentuk tari gaya Yogyakarta. Termasuk, melakukan pembaruan pada busana tari gaya Yogyakarta.

BETAWI
Gambang Keromong
Gambang Keromong adalah salah satu warisan budaya Betawi yang mencerminkan keragaman dan harmoni budaya Indonesia. Musik ini merupakan hasil akulturasi elemen budaya Tionghoa, Sunda, dan Betawi sejak abad ke-18.

Gambang Keromong berkembang di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa di Batavia dan sekitarnya. Masyarakat Betawi kemudian mengadopsi musik ini menjadi bagian
integral dari kehidupan mereka hingga saat ini.

Nama Gambang Keromong berasal dari dua alat musik utama yang mendominasi ansambel, yaitu gambang dan keromong. Gambang adalah alat musik terbuat dari bilah kayu, sedangkan keromong adalah sejenis alat musik gong kecil berbahan logam.

Perpaduan dua instrumen musik tersebut, menciptakan harmoni yang khas. Gambang Keromong juga memiliki alat musik yang dipengaruhi kuat oleh budaya Tionghoa, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong, tiga alat gesek untuk mengiringi melodi.

Gambang Keromong memiliki makna simbolis yang mendalam tentang bagaimana masyarakat Betawi, beradaptasi dan mengintegrasikan berbagai pengaruh budaya yang bertumbuh di sekitarnya, tanpa kehilangan identitas aslinya.

Secara sosial, Gambang Keromon berfungsi sebagai media komunikasi dan hiburan masyarakat. Dalam setiap pementasan, Gambang Keromong membawakan lagu-lagu berupa pantun atau syair yang mengandung kritik sosial, pesan moral, atau humor yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi, di samping lagu-lagu yang melulu instrumental.

Dengan wataknya yang multikultur, Gambang Keromong bukan sekadar hiburan, tetapi juga simbol harmoni dan identitas budaya masyarakat Betawi.

Dalam perpaduan alat musik dan pengaruh lintas budaya, musik ini menunjukkan kekayaan warisan budaya Indonesia yang patut dilestarikan, yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.

Di tengah modernisasi, penting untuk menjaga eksistensi musik ini agar generasi muda tetap mengenal dan mencintai beragam akar budaya Indonesia.

Hj Fatimah (74 tahun), Maestro Gambang Keromong

Hj Fatimah. (Sumber: purnati indonesia)

Hj Fatimah dilahirkan di Jakarta pada 28 Desember 1950. Ia adalah salah satu seniman Gambang Keromong yang masih bertahan hingga kini. Fatimah belajar menyanyi lagu-lagu Gambang Keromong dari ayahnya, yang saat itu memimpin kelompok Lenong sekaligus Gambang Keromong Sinar Jaya.

Hj Fatimah dan kelompok gambang keromongnya tampil dalam berbagai acara, mulai dari pesta pernikahan, sunatan, hingga perayaan tradisional Betawi lainnya. Puncak kariernya terentang dari tahun 1960-an hingga 1980-an.

Namun, setelah itu ia memutuskan untuk undur diri dari gebyar panggung Gambang Keromong, demi berfokus kepada keluarga dan usaha soto Betawi di Cipayung, Jakarta Timur.

Hj Fatimah adalah saksi dari pasang naik dan pasang surut Gambang Keromong di Jakarta dan sekitarnya. Mulai dari yang melulu menggunakan instrumen tradisional, hingga mengadopsi instrumen musik modern seperti gitar dan digunakannya pelantang suara dalam pentas, dari kecintaan masyarakat terhadap Gambang Keromong hingga menyurutnya minat anak-anak muda terhadap kesenian Betawi ini.

Namun, ia dan keluarganya beruntung karena masih bisa meneruskan seni tradisi warisan keluarga dan kaumnya, sehingga generasi mudah masih bisa menikmatinya dan belajar banyak darinya.

Topeng Tunggal
Pada mulanya adalah Sanggar Kinang Putra yang berdiri di Cijantung, Batavia, tahun 1918.

Sanggar ini didirikan Dji’un bin Dorak dan Kinang binti Kinin. Mereka datang dari Cisalak dan menetap di daerah itu.

Sebelum menggubah Topeng Tunggal, Dji’un pernah belajar Topeng Ubrug di Kampung Cironyok, sebagai pemain rebab, sementara Kinang sebagai pencari Topeng Gong/ gamelan Ajeng mengikuti ayahnya Kinin di Kelapa Dua Wetan.

Kinang memperdalam ilmu tari kepada Kimput, yang tersohor sebagai guru tari pada masa itu. Tahun 1918, Dji’un mengundang pimpinan dan pemain Topeng Ubrug ke Cisalak meresmikan berdirinya Topeng Cisalak yang dipimpinnya.

Topeng Cisalak hanya dengan modal alat musik seadanya, yaitu satu rebab yang terbuat dari kaleng biskuit, satu gong, satu kecrek, tiga kenong, dan gendang.

Tahun 1958 Dji’un meninggal dunia, dan Topeng Cisalak berganti nama menjadi Topeng Kinang Cisalak yang dipimpin BKD alias Bokir, Kisam, Dalih.

Topeng Kinang Cisalak kemudian terbagi menjadi tiga kelompok: Topeng Setia Warga dipimpin H Bokir bin Dji’un, Topeng Ratna Sari dipimpin H Kisam bin Dji’un dan Topeng Kinang Putra dipimpin H Dalih bin Dji’un.

Setelah H Dalih bin Dji’un meninggal dunia tahun 2007, Topeng Kinang Putra dipimpin Andi Supardi, keponakan H Dalih bin Dji’un, hingga sekarang.

Topeng Tunggal adalah salah satu tarian dari rumpun Tari Topeng Betawi, yang diciptakan pasangan suami istri Dji’ung dan Kinang tahun 1930.

Tarian ini adalah bagian dari struktur pertunjukan teater rakyat Topeng Betawi. Tarian ini sering juga disebut Tari Kedok Tiga karena penarinya—biasa disebut Ronggeng Topeng—mesti mengenakan tiga topeng (kedok).

Tiga topeng ini merepresentasikan tiga watak manusia: Topeng Panji, berkarakter lemah lembut dan gemulai disimbolkan oleh topeng berwarna putih; Topeng Samba, berkarakter lincah, centil, dan ceria disimbolkan dengan topeng berwarna merah muda; Topeng Jingga, berkarakter kuat, gagah berani, dan kasar yang disimbolkan dengan topeng berwarna merah hati.

Gerak dalam tari Topeng Tunggal, pada ketiga topengnya, mengembangkan “gerak dasar tari Betawi” tetapi yang membedakannya adalah kenaikan ritme dan ruang gerak yang semakin luas.

Susunan gerak tari Topeng Tunggal di antaranya, Topeng Panji: tindak/ nindak, tindak selancar, goleng, sembah bedeku; Topeng Samba: sembah bedeku, putar di tempat, kiwir-kiwir, gonjingan; Topeng Jingga: gonjingan, tindak empat, gagahan, puter selampe, goyang pundak, sembah bedeku.

Penari Topeng Tunggal mengenakan kebaya yang tertutup dari mulai leher hingga perut, dengan bawahan kain batik tumpal tombak Betawi. Bisa juga mengenakan baju kurung lengan pendek, dengan variasi pola tiga susun di antara lengan atas dan siku penari.

Pada bahu terdapat toka-toka yang terbuat dari bahan sutra dengan warna mencolok, yang dikenakan dengan cara diselempangkan bersilang di bagian dada.

Kartini Kisam (64 Tahun), Maestro Topeng Tunggal

Kartini Kisam. (Sumber: purnati indonesia)

Kartini Kisam adalah generasi ketiga seniman tari topeng Betawi, yang dirintis oleh Dji’ung dan Kinang pada dasawarsa kedua abad ke-20. Kartini mengenal tari Topeng melalui keluarganya, terutama ketika mengikuti kakek-neneknya berpentas di sejumlah tempat di Jakarta dan Jawa Barat. Juga ketika, ia mengikuti pentas ayah-ibunya Kisam dan Nasah yang meneruskan pekerjaan seni Dji’ung dan Kinang.

Kartini mulai berpentas secara profesional sebagai penari Topeng dalam sebuah pentas di Bandung tahun 1973—menggantikan neneknya yang berhalangan karena sakit.

Ia telah mementaskan tari Topeng di berbagai daerah di Indonesia dan membawa Topeng Tunggal hingga ke Hong Kong, Mesir, Nigeria, dan negara-negara Afrika
lainnya.

Tahun 2018, ia menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai Maestro dan Pelestari Tari Betawi.

Dalam usianya yang menginjak 64 tahun, Kartini masih aktif menari dan mengajar tari di Sanggar Seni Ratna Sari di Cibubur, Jakarta Timur.

KEPULAUAN RIAU
Mak Yong
Mak Yong pada mulanya berkembang di Nara Yala, Pattani, Thailand. Dari situ seni drama, tari dan musik ini berkembang ke Kelantan, Malaysia, Singapura, dan Indonesia terutama di Kepulauan Riau (Kepri) dan Sumatera Utara.

Mak Yong yang berkembang di Indonesia, identik dengan penyebaran Islam dalam masyarakat Melayu. Sejauh ini, ada dua versi Mak Yong: kerajaan dan masyarakat.

Dalam versi kerajaan, kisah yang dibawakan harus memiliki tutur yang baik dan hormat kepada raja, tidak berbicara sembarangan, menggunakan kata-kata yang sopan dan halus, serta menggunakan pakaian yang rapi dan bergaya bangsawan.

Sedangkan dalam versi masyarakat, Mak Yong cenderung lebih cair dengan improvisasi-improvisasi yang lucu.

Kisah-kisah yang dibawakan adalah kritik sosial, sementara pakaian yang dikenakan lebih bebas dan kekinian. Ciri khas pertunjukan Mak Yong di Kepri menggunakan topeng.

Mak Yong bersifat sakral, karena pada setiap pertunjukan diawali dan diakhiri dengan ritual ”buka tanah” dan ”tutup tanah” yang dilakukan seorang bomoh, orang yang khusus memiliki keahlian dalam bidang supranatural.

Para pemain, termasuk di dalamnya para pemusik dan penari, diberi air dan mantra yang dipercaya dapat membuat mereka bermain dengan baik. Semua peralatan yang digunakan dalam pementasan juga diberi mantra.

Secara khusus, pemeran utama, topeng, dan peralatan musik berupa gendang dan rebab diberi lagi mantra dan jimat lain. Pada upacara buka tanah, bomoh meminta izin dan minta maaf kepada para leluhur.

Selama upacara ini berlangsung, tidak boleh ada seorang pun yang melintas di depan arena pertunjukan karena dikhawatirkan mengganggu ”yang tidak kelihatan”.

Setelah upacara ini selesai, lagu Menghadap Rebab dan Tari Ular Sawah dipertunjukkan. Kemudian cerita Mak Yong dimulai dengan lagu pembukaan, Betabik.

Cerita ditampilkan melalui dialog para tokoh dan lagu-lagu yang dinyanyikan dengan iringan musik dan tarian. Pada akhir pertunjukan, bomoh akan menutupnya dengan upacara ritual yang biasa disebut upacara ”tutup panggung”.

Di Kepri, seniman terkemuka Mak Yong tradisional bernama Tuk Atan. Ia terlahir dengan nama Tengku Muhammad Atan Rahman di Singapura tahun 1931, dari pasangan Tengku Rahman dan Ibu Sabariah.

Ketika pecah Perang Dunia Kedua dan Singapura diduduki Jepang, Tuk Atan dan ibu angkatnya Mak Ungu meninggalkan negeri itu dan bermukim di Mantang Arang, pulau kecil di wilayah Mantang, Bintan Timur.

Setelah Mak Ungu meninggal tahun 1960-an, para tokoh Mak Yong berpencaran meninggalkan Mantang Arang.

Mak Wet yang dikenal sebagai primadona (sebagai penari maupun tokoh utama Mak Yong) pindah ke Tembeling, Bintan Timur. Tuk Atan menetap di Kampung Keke, Kijang, Bintan Timur, hingga wafat tahun 2003.

Pak Basri pindah ke Pulau Panjang, Batam, dan mendirikan sanggar seni Melayu. Hanya Pak Khalid yang menetap di Mantang Arang.

Pewarisan Mak Yong Kampung Keke dilanjutkan oleh Tengku Satar, putra Tuk Atan. Ia mendirikan Sanggar Warisan, melanjutkan pentas Mak Yong dalam berbagai model, bergantung pada permintaan seperti pengiring acara di kabupaten dan pengiring sajian makan malam para peserta kunjungan wisata Bintan.

Kelompok ini sudah beberapa kali berpentas dan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan teknologi, termasuk berpentas secara virtual pada November 2019.

Tengku Muhammad Atan Rahman alias Tuk Atan (1931-2003), Maestro Mak Yong Sebagai pelestari dan pengembang Mak Yong di Kepri, Tengku Muhammad Atan Rahman alias Tuk Atan menorehkan banyak prestasi dan penghargaan.

Misalnya, ia mengembangkan ”Gaya Kijang”, sebuah gaya tarian Mak Yong, menggubah lagu-lagu yang kemudian menjadi acuan pertunjukan Mak Yong. Namanya juga tercatat sebagai tokoh Mak Yong dalam buku Sejarah Kesenian Mak Yong di Kepri.

Tuk Atan menghabiskan hampir seluruh masa hidupnya untuk mengembangkan Mak Yong dengan cara melatih generasi muda, dan mempromosikan kesenian kesenian
tradisi ini kepada masyarakat luas.

Tuk Atan meraih sejumlah penghargaan, misalnya sebagai ”Seniman Terbaik” dan ”Pelestari Kesenian Tradisional” dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri.

Mak Normah (79 Tahun), Maestro Mak Yong

Mak Normah. (Sumber: purnati indonesia)

Mak Normah adalah seorang pelaku Mak Yong asal Pulau Panjang, Batam, yang sudah berkecimpung di dunia seni sejak berumur 10 tahun. Meski tidak muda lagi, Mak Normah masih giat berjualan menyambung hidup, tetapi tidak pernah meninggalkan seni sebagai pilihan hidupnya.

Sebagai maestro, ia juga mewariskan seni Mak Yong kepada anak-cucunya. Tahun 2004, ia mendapatkan penghargaan langsung dari Gubernur Kepri sebagai ”Pelestari dan Pelaku Seni di Bidang Seni Pertunjukan Tari Jogi, Mak Yong, dan Joget Dangkong”.

”Saya ini orang asli Mak Yong. Keluarga saya Mak Yong semua, dari nenek saya dari ibu, dari suami, dari bapak, semua seniman Mak Yong,” kata Mak Normah,
suatu kali. (asa)