Praperadilan Aripin vs Kejari, Muhajirin: Menentukan Kerugian Negara BPK Bukan Inspektorat

Muhajirin SH (kanan) dan Rian Wahyudi SH, pengacara mantan Sekretaris Dewan Pengawas Perusda Kabupaten Natuna, Aripin pada sidang perdana praperadilan dengan termohon penyidik Kejari Natuna di Pengadilan Negeri Natuna, Senin (24/6/2024). (F. dok muhajirin untuk kepri.co.id)

BATAM (Kepri.co.id) – Sidang praperadilan penetapan tersangka mantan Sekretaris Dewan Pengawas Perusahaan Daerah (Perusda) Kabupaten Natuna, Aripin vs penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Natuna memasuki babak baru sidang perdana, Senin (24/6/2024).

Sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Ranai nomor: 1/Pid.Pra/2024/PN Ntn ini, dipimpin hakim tunggal M Fauzi N SH MH.

Baca Juga: Pengacara Aripin Laporkan Oknum Kejari Natuna dan Perangkatnya ke Jamwas Kejagung

Aripin melalui kuasa hukumnya Muhajirin SH kepada Kepri.co.id, mengatakan, penetapan klienya berstatus tersangka diduga tidak sesuai prosedur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengenai dua alat bukti.

Menurut Jirin sapaan pengacara muda asal Pulau Serasan Natuna ini, penetapan tersangka kepada kliennya, harus memenuhi dua alat bukti yang secara kualitatif diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Dikatakan Jirin, sah atau tidaknya status tersangka kalau berbicara tindak pidana korupsi (tipikor), akan berbicara soal kerugian negara.

“Dalam hal tipikor ini, siapa yang berhak menghitung kerugian negara?” kata Jirin bertanya.

Pertanyaan tersebut, dijawab sendiri oleh Jirin, ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAPidana, dalam kasus kliennya, tidak ada penghitungan kerugian keuagan negara dari instansi yang paling berwenang yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Padahal, kata Jirin, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 25/PUU-XIV/2016, MK telah membatalkan kata “dapat” dalam rumusan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan delik korupsi yang selama ini digunakan sebagai delik formil, berubah menjadi delik materil, yang mengisyaratkan adanya akibat unsur kerugian keuangan negara, harus dihitung secara nyata/ pasti menjadi delik materil.

“Unsur kerugian negara tidak lagi dipahami sebagai pikiran (potensial loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tindak pidana korupsi. Itulah inti putusan MK Nomor: 25/PUU-XIV/2016 itu,” terang Jirin.

Baca Juga: Merasa Dirugikan, Pengacara Sudirmanto Surati Kejari Natuna

Sementara pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2016 tentang BPK menyebutkan: “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lainnya dilakukan oleh bendahara, pengelolaan BUMN/ BUMD, dan lembaga/ badan lainnya yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.

Dikatakan Jirin, pihak termohon (Kejaksaan) hanya menggunakan hasil audit dari Inspektorat Daerah Natuna, untuk menghitung kerugian negara pada kasus tindak pidana korupsi keuangan Perusda Natuna senilai Rp419.318.511.

Sementara, bicara aturan Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kata Jirin, yang berhak menentukan kerugian negara itu adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia.

Hal inilah menurut, Jirin, diduga ada kejanggalan karena audit Inspektorat Daerah Natuna itu sifatnya pembinaan.

Tidak hanya itu, kata Jirin, sejak awal perkara ini, penyidik tidak pernah menawarkan kepada klienya untuk pengembalian kerugian negara. Kemudian, naik ke penyelidikan dan penyidikan lalu ditetapkan status tersangka.

Jika pihak kejaksaan (termohon) mengatakan, kasus ini merupakan hasil pengembangan kasus terpidana mantan Direktur Perusda Karimun, inisial R yang sudah inkrah.

“Jika itu rujukanya, dalam perkara itu juga terdapat nama saksi lain. Kenapa klien kami saja yang ditetapkan tersangka. Saksi-saksi lain pada ke mana,” kata Jirin.

Kasi Intelijen Kejari Natuna, Tulus Yunus Abdi, dikonfirmasi, mengatakan, pengajuan praperadilan oleh tersangka adalah hak yang dijamin oleh Undang-Undang (UU) dan KUHAP. “Apapun upaya hukum yang dilakukan tersangka, kami menghargai dan kami siap menghadapinya,” ujar Tulus.

Terkait hanya BPK yang berhak menentukan kerugian negara bukan Inspektorat Daerah Natuna, kata Tulus, silakan berpendapat seperti itu. “Kami akan sampaikan bukti-buktinya, kalau bukan BPK saja yang berhak. Berbeda pendapat itu hal biasa, nanti hakimlah yang memutuskan berhak atau tidak,” jelas Tulus. (amr)