Kilas Balik Hari Marwah Masyarakat Kepulauan Riau ke-20

SENGAJA Penulis menampilkan judul tersebut dalam euforia mementum peringatan yang diperingati tahun ini. Sebuah argumen dan perdebatan sengit dalam group WhatsApp (WA) Hari Marwah.

Penulis beragumentasi bahwa sepatutnya Hari Marwah yang diperingati tanggal 15 Mei 2022 adalah yang ke-23, karena tanggal 15 Mei 1999 merupakan pertama kali istilah marwah dimunculkan dari kalangan intelektual/ akademisi dan tokoh masyarakat kala itu.

Assoc Prof Dr M Syuzairi, MSi (Mantan Panitia Pemekaran Kepri, bermastautin di Kota Batam). (F. dok syuzairi)

Sebagaimana, Sejarawan Kepri Aswandi Syahri dalam tulisannya di portal Jantung Melayu.Com yang berjudul “Latar Sejarah Hari Marwah Rakyat Provinsi Kepulauan Riau.” Ada poin penting yang membuat peristiwa perayaan pertama itu sangat berarti dalam sejarah perjuangan pembentukan Provinsi Kepri.

Tanggal 15 Mei itu dipilih, karena pada tanggal itulah rakyat Kepulauan Riau mendeklarasikan sebuah tekad untuk memekarkan Kabupaten Kepulauan Riau, menjadi Provinsi Kepulauan Riau dalam Musyawarah Rakyat (Musra) Kepulauan Riau yang pertama di Hotel Royal Palace Tanjungpinang, pada tanggal 15 Mei 1999. Kebulatan tekad itulah yang harus diperjuangkan dan dipertahankan sebagai marwah, kehormatan, dan harga diri.

Dari uraian yang disampaikan penetapan Hari Marwah pertama yang dilaksanakan tepat tanggal, 15 Mei 2002 di sekitar Monumen Raja Haji Fisabillah, adalah menggelorakan kembali roh semangat 15 Mei 1999. Yang mendeklarasikan Provinsi Kepri dan pemekaran Kabupaten/ Kota, mungkin tidak menjadi perdebatan pro kontra kalau saja temanya “Hari Marwah Masyarakat Kepri yang ke-20 dan Musra 15 1999 yang ke-23 dan seterusnya.

Poster peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-20 Hari Marwah pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. (F. dok humas pemprov kepri)

Mengapa temanya harus demikian? Tentu dapat ditebak, Momen Peringatan Hari Marwah berawal dari semangat 15 Mei 1999 seperti yang kita cerna selama ini menjadi gerakan moral, bangkitnya batang terendam; bangun dari mimpi—meminjam pendapat ketika itu. Sadar atau tidak sadar, Kepulauan Riau memang terpinggirkan dari berbagai aspek pembangunan.

Tulisan ini tidak bermaksud memperkeruh suasana ketika momen peringatan dilalui secara hikmat, hanya mengingatkan saja bahwa sejarah tetaplah sejarah, karena peristiwa peringatan Hari Marwah ke-20, yang dilaksanakan tanggal 15 Mei 2022, merupakan rangkaian dan roh atau semangat 15 Mei 1999.

Bertepatan dengan hari Marwah yang dilaksanakan tahun ini, kiranya Penulis mencoba mengulang kaji peristiwa yang tertinggal akibat dari kebijakan Pemerintah Provinsi Riau yang lebih mengutamakan Riau daratan kala itu.

Penulis membatasi tulisan ini, hanya sampai peristiwa bangkitnya semangat berprovinsi ketika itu, hanya periode sampai lahirnya ide pemekaran Kabupaten/ Kota, yang kran reformasi otonomi daerah dibuka. Hampir semua Pemerintahan Kabupaten/ Kota di Provinsi Riau, ketika itu mendesain daerahnya untuk dimekarkan tidak terkecuali Kabupaten Kepulauan Riau.

Melalui proposal KPKR dengan dukungan data yang seadanya, telah mencetuskan pemikiran beberapa kecamatan di Kepulauan Riau untuk dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten/ Kota. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau juga melakukan hal yang sama. Demikian juga dengan Kota Administratif Tanjungpinang, dan Kota Administratif Batam, karena perintah Undang-Undang (UU) ketika itu harus ditingkatkan statusnya menjadi Kota Otonom. Ketika ada dukungan dari masyarakat, maka menjadi kuat alasan peningkatan status untuk menjadi kota otonom.

Masih segar dalam ingatan Penulis, ketika utusan dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau rekan sejawat, Drs Azirwan selaku Kepala Bapeda Kabupaten Kepri waktu itu. Sempat dilakukan diskusi kecil di Laboratorium Pusat Studi Universitas Riau (Unri) di Pekanbaru, dengan mengundang para tokoh akademisi, dan sekalian diundang ke Tanjungpinang, untuk melihat langsung dan mematangkan konsep pemekaran yang tentu saja disinkronkan dengan proposal KPKR di bawah kepemimpinan almarhum Arif Rasahan.

Pada tahapan itu, belum muncul ide pemikiran akan lahirnya konsep Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini dapat dicermati dari proposal KPKR ketika itu hanya sampai batas Pemekaran Kabupaten/ Kota.

Episode berikutnya melalui IWKR (Ikatan Warga Kepulauan Riau) yang diketuai almarhum Drs M Daud Kadir, menginisiasi lahirnya pemikiran ke arah Provinsi Kepulauan berangkat dari rencana Pemerintah Pusat untuk Pemekaran Provinsi Papua, Provinsi Banten, dan ketika itu belum disebut akan ada Provinsi Bangka Belitung.

Penulis ketika itu baru saja menyelesaikan pendidikan Strata S-2 Ketahanan Nasional Universitas Gajah Mada, dengan status Dosen Fisipol Unri diminta pendapat, apakah tidak sebaiknya pada acara Musyawarah Rakyat (Musra) Kepulauan Riau, 15 Mei 1999 nanti kita cetuskan gagasan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

Secepat kilat gagasan tersebut ditangkap kalangan tokoh dan intelektual yang ada di Pekanbaru, mulai Prof Dr HM Saad, MSi, H Dun Usul, Drs Maka Hamid, Bakwar Thalib, Drs Abdul Malik MPd, Drs Daeng Ayub Natuna, Drs Surya Machnizon, Drs Said Suhil Ahmad, dan lainnya. Rutin melakukan pertemuan di rumah beliau Jalan Thamrin 53 Gobah, Pekanbaru.

Masing-masing perwakilan kecamatan yang tergabung dalam IWKR didorong mendukung pemekaran Kabupaten/ Kota. Lalu kepada Prof Dr HM Sa’ad MSi, Drs Abdul Malik MPd, Drs Daeng Ayub Natuna, dan Penulis sendiri diminta sumbangan pemikiran untuk merumuskan format Provinsi Kepulauan Riau, dan diminta agar para akademisi membuat makalah pendukung.

Penulis sendiri menyumbangkan pemikiran dalam Makalah berjudul “Pemekaran Kepulauan Riau Ditinjau Dari Aspek Ketahanan Nasional”. Sumbangan pemikiran tersebut, menjadi data pendukung dalam satu kesatuan yang diajukan ke Pemerintah Kabupaten Kepulauan Riau, untuk dijadikan alasan yang kuat dari perspektif akademis khususnya awal Pemekaran Kabupaten/ Kota.

Pada pelaksanaan Musra 15 Mei 1999, makalah yang sudah ada diminta untuk diperbanyak kepada panitia, namun ditolak. Hal ini sangat wajar dan kita harus berfikir positif, karena agenda Musra yang disusun dalam tatib panitia telah dikunci hanya pemekaran Kabupaten/ Kota tidak ada opsi ke arah pemekaran provinsi.

Ini adalah fakta sejarah, namun tim Pekanbaru tidak kehilangan akal. Ketika kendala tersebut dicerikan kepada Bang Huzrin Hood, yang ketika itu mendengar dan menyaksikan di Hotel Top View, spontan merogoh kocek dengan memberi sumbangan Rp500.000 untuk keperluan memotokopi makalah melalui saudara Ahyar yang kebetulan punya usaha fotokopi.

Strategi selanjutnya, untuk meyakinkan kawan-kawan maka memohon kepada almarhum Mochtar Silin bersaudara, Bang Zulkain, dan lain-lain untuk melakukan lobi, agar besok pada acara bersejarah secara de facto melahirkan hasil, bukan hanya pemekaran Kabupaten/ Kota tapi harus ada opsi pemekaran Provinsi.

Masih segar dalam ingatan Penulis, malam menjelang diadakan Musra sebelum pelaksanaan tanggal 15 Mei 1999. Dibahaslah finalisasi tata tertib musra yang dipimpin langsung ayahanda H Abdul Razak, yang sempat melontarkan kata-kata menyamakan perdebatan sengit seperti sampan mau pecah. Tarik-menarik perdebatan seputar perlunya dimasukkan opsi Provinsi.

Hampir semua peserta rapat memberikan koreksi dari materi dan aspek tata bahasa. Penulis sendiri mengkritisi: (1). Tema musyawarah harus dipilih salah satu bukan dua. (2). Peserta musyawarah diusulkan dari Perwakilan Kecamatan dan Masyarakat Kepulauan Riau yang ada di perantauan, agar kesannya keinginan untuk pemekaran benar berasal dari aspirasi masyarakat.

(3). Pemekaran Kabupaten/ Kota tidak satu-satunya opsi, harus ada keberanian agar ada opsi ke arah Provinsi dengan berargumentasi, bahwa Provinsi Riau saja sudah mulai berani meneriakkan Riau Merdeka— paling tidak lahirkan opsi Provinsi menjadi daya tawar agar Kepulauan Riau diperhatikan ke depan, maka sebaiknya tatib tidak dikunci dan memberi kesempatan kepada peserta untuk menentukan sikap, apakah hanya pemekaran Kabupaten/ Kota atau ada opsi perlu pemekaran Provinsi baru?

Usulan tersebut dikoreksi, diterima dan dicatat dalam tata tertib. Terakhir, Penulis usulkan agar merubah istilah musyawarah rakyat (Musra) dengan menggantikan musyawarah masyarakat, karena rakyat identik seolah-olah kita mau buat negara sendiri.

Usulan ini mendapat penolakan dari pimpinan rapat, dengan menutup: usulan awak kami terima. Tapi, untuk mengganti rakyat dengan masyarakat tidak mungkin, karena semua persiapan sudah tercetak.

Besoknya tepat tanggal 15 Mei 1999 — agaknya tidak dapat disangkal keputusan Musra, yang dipimpin almarhum Prof Dr HM Saad MSi atas dasar keinginan bersama, dan rasa kebersamaan.

Spontanitas opsi Provinsi menjadi keinginan sebagian besar peserta musyawarah, di samping pemekaran Kabupaten/ Kota. Selanjutnya disepakati membentuk panitia sembilan.

Untuk mendukung kerja panitia sembilan, diberikan penugasan kepada panitia pemekaran Kepulauan Riau untuk menindaklanjuti hasil keputusan Musra.

Dalam kurun waktu tiga tahun (1999 – 2002), sebagaimana diperkuat tulisan Aswandi Syahri, bahwa amanah untuk memperjuangan Provinsi tidak dapat dilakukan. Kemudian, diambil kendali oleh H Huzrin Hood dengan membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (P4KR) yang selanjutnya berubah wujud menjadi Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR), dengan mengidentikan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia PPKI dan BPUPKI.

Tentu tidak dapat disangkal, di bawah komando H Huzrin Hood lah perjuangan yang secara de jure disahkan tanggal 24 September 2002 sebagai Provinsi Kepulauan Riau. Dan tanggal ini juga ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Kepulauan Riau.

Sebagai catatan penutup. Sebuah pertanyaan besar, perlukah dievaluasi setelah 20 Tahun Peringatan Hari Marwah, dan harapan masyarakat hasil Musra 23 tahun yang lalu, yaitu sudah tercapaikah kesejahteraan masyarakat Kepulauan Riau setelah berotonomi?

Jawabannya ada pada angka statistik yang setiap tahun berubah, terutama masa Covid-19 yang telah meluluhlantakkan sektor perekonomian strategis, yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja di bidang industri, namun tanpa disadari banyak investor yang hengkang akibat tidak adanya kepastian berusaha.

Sektor pariwisata yang ambruk akibat pandemi terutama sektor perhotelan yang tutup; daya saing putra/i tempatan yang tersingkirkan akibat derasnya persaingan dan dengan alasan klasik mereka yang tidak terampil.

Belum lagi kebijakan Pemerintah yang akan menerapkan PP 41/2021 yang belum mendapatkan kepastian hukum akibat ketidakpastian hukum UU Cipta Kerja yang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ditambah lagi wacana pemekaran Provinsi Natuna, sementara pemerataan pembangunan belum menghasilkan hasil nyata.

Ini perlu menjadi catatan, karena di banyak Kabupaten/ Kota terjadi defisit anggaran. Itu semua, membutuhkan sikap tegas dari Pemerintah Daerah termasuk DPRD, agar dilakukan kajian menyeluruh akan manfaat di masa datang terutama konteks penguatan otonomi daerah (otda).

Terkesan selama ini, apabila Kepala Daerah mendukung secara total PP 41/ 2001 dapat diartikan telah terjadi ‘wan prestasi’, apabila membiarkan kewenangan tersebut menjadi domain Pemerintah Pusat.

Idealnya regulasi ini berada di bawah peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah, yang selanjutnya dapat melimpahkan kewenangannya ke Pemerintah Kabupaten/ Kota.

Ini menjadi “Pekerjaan Rumah” yang besar ke depan, agar mendorong Kepulauan Riau berotonomi penuh, tidak ada lagi ambigu atau tumpang tindih kewenangan pusat- daerah, karena kewenangan sudah dibagi habis berdasarkan UU 23 Tahun 2014 yang telah mengalami beberapa kali perubahan.

Selamat Hari Marwah Kepulauan Riau ke-20 yang disejalankan dengan peringatan musyawarah rakyat 15 Mei 1999 yang ke-23 yaitu, guna merajut perbedaan untuk kebersamaan. Mohon maaf lahir batin. Selamat Idul Fitri 1443 H. ***

Penulis: Assoc Prof Dr M Syuzairi, MSi (Mantan Panitia Pemekaran Kepri, bermastautin di Kota Batam).