Kuasa Hukum Aripin Lakukan Praperadilan Terhadap Kejaksaan Negeri Natuna

Muhajirin SH. (F. rud)

NATUNA (Kepri.co.id) – Kuasa hukum Aripin, Muhajirin SH resmi mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Natuna terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka yang dilakukan penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Natuna terhadap kliennya.

Praperadilan yang diajukan Muhajirin, bisa dilihat dalam sistem informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri (PN) Natuna nomor: 1/Pid.Pra/2024/PN Ntn tanggal 12 Juni 2024.

Baca Juga: Pengacara Aripin Laporkan Oknum Kejari Natuna dan Perangkatnya ke Jamwas Kejagung

Gugatan Praperadilan ini didasari penetapan sebagai tersangka oleh penyidik Kejari Natuna, yang dinilai Muhajirin tanpa dua alat bukti sah menurut pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

“Kejari Natuna menetapkan klien kami sebagai tersangka, berdasarkan alat bukti laporan hasil audit penghitungan kerugian negara dari Badan Inspektorat Daerah Pemerintah Kabupaten Natuna: 7001.2.3/IRBAN/IV/2023 tanggal 28 April 2023 sebesar Rp419.318.511,” ungkap Jirin.

Menurut Jirin sapaan pengacara muda asal Pulau Serasan Natuna ini, penetapan tersangka kepada kliennya harus memenuhi dua alat bukti yang secara kualitatif diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Nomor: 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, telah ditafsir oleh MK, kata Jirin, bahwa “frasa bukti permulaan” adalah dua alat bukti yang secara kualitatif diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Sebagaimana ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAPidana, nilai Jirin, dalam kasus kliennya tidak ada penghitungan kerugian keuagan negara dari instansi yang paling berwenang yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Padahal, kata Jirin, merujuk pada putusan MK Nomor: 25/PUU-XIV/2016, MK telah membatalkan kata “dapat” dalam rumusan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan delik korupsi yang selama ini digunakan sebagai delik formil berubah menjadi delik materil, yang mengisyaratkan adanya akibat unsur kerugian keuangan negara, harus dihitung secara nyata/ pasti menjadi delik materil.

“Unsur kerugian negara tidak lagi dipahami sebagai pikiran (potensial loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tindak pidana korupsi. Itulah inti putusan MK Nomor: 25/PUU-XIV/2016 itu,” terang Jirin.

Sementara pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2016 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan: “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lainnya dilakukan oleh bendahara, pengelolaan BUMN/ BUMD, dan lembaga/ badan lainnya yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.

Dipertegas lagi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA-RI) Nomor 4 tahun 2016, mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksana Tugas bagi Pengadilan.

Salah satu poin rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara.
Rumusan hukum kamar pidana, ungkap Jirin, istansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK, yang memiliki kewenangan konstusional. Sedangkan istansi lainnya seperti Inspektorat/ satuan kerja perangkat daerah, tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak menyatakan atau men-declare adanya kerugian negara.

Serta di dalam aturan internal kejaksaan sendiri berdasarkan pasal (2) angka (1) huruf (b) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-039/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010, yang menjadi sumber penyelidikan terdiri dari “hasil audit BPK RI/ BPKP.”

“Dari penjelasan tersebut di atas, tidak ada satu pun secara aturan/ hukum yang membenarkan Inspektorat Daerah menentukan terhadap kerugian negara dalam tindak pidana korupsi. Sedangkan perbuatan penyidik Kejari Natuna terkesan memaksakan untuk menetapkan Aripin sebagai tersangka, tanpa ada penghitungan kerugian negara dari instansi yang berwenang memiliki kewenangan secara konstitusional,” urai Jirin panjang lebar.

Jirin, pengacara muda yang banyak menangani perkara tindak pidana korupsi ini, menyatakan, pengajuan praperadilan sudah diterima dan teregister dalam perkara Nomor: 1/Pid.Pra/2024/PN Ntn, dimana sidang pertama akan digelar tanggal 24 Juni 2024 di PN Natuna.

“Demi keadilan dan kebenaran sebagai pengganti Tuhan di muka bumi, kami berharap hakim tunggal yang akan memimpin jalannya persidangan tersebut, bisa bersikap objektif dan bisa memberikan putusan yang seadil-adilnya yang dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Esa,” pungkas Jirin.

Terkait praperadilan ini, Kasi Intel Kejari Natuna, Tulus Yunus Abdi, dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp (WA) selulernya, mengatakan, belum ada pemberitahuan dari PN Natuna secara tertulis.

“Kita tggu aja pemberitahuan dari PN,” balas Tulus. (asa)