Jual Beli Kaveling Kawasan Hutan Lindung, Kementerian ATR/ BPN Pidanakan PT MKN

Tim Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen PPTR) melakukan penyegelan di lokasi yang dijual kaveling oleh PT Mega Karya Nanjaya (MKN), beberapa waktu lalu. (F. amr)

BATAM (Kepri.co.id) – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) melalui Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen PPTR), mempidanakan PT Mega Karya Nanjaya (MKN).

Perusahaan tersebut diduga melakukan alih fungsi lahan dan memperjualbelikan kaveling kawasan hutan lindung Seihulu, Lanjai, Kecamatan Nongsa, Batam.

Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang Ditjen PPTR, Ariodillah Virgantara, mengatakan, penyidikan kasus perubahan fungsi lahan di kawasan hutan lindung itu, berdasarkan hasil audit tata ruang kawasan strategis nasional Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) oleh Kementerian ATR/ BPN pada 2019.

Hasil audit menemukan ketidaksesuaian rencana tata ruang dengan implementasi di lapangan.

“Ternyata, hasil audit yang seharusnya hutan sudah tidak menjadi hutan lagi,” ujar Ariodillah melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (22/5/2023).

Ariodillah menjelaskan, lahan yang awalnya berupa kawasan hutan lindung itu, telah dijadikan kaveling dan dijual dengan harga murah.

Pihaknya telah dua kali memasang plang larangan pembangunan di hutan lindung pada 2020 dan 2022, namun dibongkar, aktivitas pembangunan tetap jalan, sejumlah rumah telah berdiri.

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya, BS, dinyatakan melakukan tindakan ilegal dan melanggar Undang-Undang Nomor 26 Pasal 69 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Proses untuk menyeret Direktur PT MKN ke ranah hukum, butuh waktu tidak sebentar. Proses yang berjalan hampir satu tahun. Saat ini, tersangka dan berkas perkaranya dinyatakan telah lengkap atau P21.

“Berkas telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Batam dan akan disidang dua minggu lagi,” kata Ariodillah.

Ariodillah mengatakan, kasus hutan lindung yang diperjualbelikan tidak hanya merugikan negara, tapi juga warga. Apalagi, jika sampai tahap transaksi jual beli.

“Sesuai peraturan yang berlaku, bangunan yang telah berdiri tetap harus dibongkar dan dipulihkan menjadi hutan kembali,” imbuhnya.

Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya, BS, dikonfirmasi terkait persoalan ini, tidak mau berkomentar banyak.

“Kita akan akan menghadapi proses hukum ini,” singkatnya. (amr)